Rabu, 06 Mei 2009

Hukum, HAM, Dan Demokrasi Dalam Islam

HUKUM, HAM, DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM

A. PENDAHULUAN
Hukum, HAM, dan Demokrasi Dalam islam berisi tentang penjelasan konsep-konsep hukum islam, HAM menurut islam dan demokrasi dalam Islam meliputi prinsip bermusyawarah dan prinsip dalam ijma’.

B. PENJELASAN MATERI
I. Konsep Hukum dan HAM [1]
1. Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui wahyu-Nya yang kini terdapat dalam Al Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya melalui Sunnah beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam kitab-kitab hadits. Terdapat perbedaan pendapat antara ulama ushul fiqh dan ulama fiqh dalam memberikan pengertian hukum syar’i karena berbedanya sisi pandang mereka. Ulama fiqh berpendapat bahwa hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh tuntutan yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Sedangkan ulama ushul fiqh mengatakan bahwa yang disebut hukum adalah dalil itu sendiri. Mereka membagi hukum tersebut kepada dua bagian besar yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi berbentuk tuntutan dan pilihan yang disebut dengan wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah. Dan hukum wadh’i terbagi kepada lima macam yaitu sabab, syarat, mani’, shah dan bathal.
Masyarakat Indonesia disamping memakai istilah hukum Islam juga menggunakan istilah lain seperti syari’at Islam, atau fiqh Islam. Istilah-istilah tersebut mempunyai persamaan dan perbedaan. Syari’at Islam sering dipergunakan untuk ilmu syari’at dan fiqh Islam dipergunakan istilah hukum fiqh atau kadang-kadang hukum Islam, yang jelas antara yang satu dengan yang lain saling terkait.

 Fiqh
Pengertian dan Objek Kajian Fiqh dan Usul Fiqh
Fiqh adalah: - pengetahuan atau pemahaman (etimologi)
- ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang amali yang diambil dari dalil-dalilnya yang rinci (terminology).
Unsur yang terkandung:
a. Hukum Syara’
b. Bersifat amaliyah (praktis)
c. Penetapannya melalui dalil-dalil yang rinci.

[1] ”PENDIDIKAN AGAMA ISLAM” (Buku Teks Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam Pada Universitas Gunadarma), Penerbit : Universitas Gunadarma, 2003


Objek Kajian Fiqh:
1. Perbuatan Mukallaf yang berhubungan dengan Allah (ibadah)
2. Perbuatan Mukallaf yang berhubungan dengan sesamanya (muamalah)
Bidang muamalah kemudian mengalami perkembangan dan perluasan wilayah kajian, sehingga muncul bidang bidang baru dalam fiqh seperti: Fiqh Ahwal as-Syakhsiyah (Hukum Keluarga), Fiqh Muamalah (Hukum Transaksi), Fiqh Mawaris, Fiqh Munakahat, Fiqh Jinayah (Hukum Kriminal), Fiqh Murafa’at (Hukum Acara), Fiqh Siyasah (Politik) dan sebagainya.
Usul Fiqh adalah: - kaidah kaidah pemahaman (etimologi)
- Ilmu yang mempelajari dasar, kaidah, metode yang digunakan untuk mengistimbatkan hukum syara’.
Unsur yang terkandung:
a. Dasar atau dalil
b. Metode istimbath hukum
c. Implementasi atau penggunaan metode.
Objek Kajian Usul Fiqh:
1. Sumber Hukum dalam Islam
2. Pembahasan Ijtihad dan Mujtahid
3. Hukum Syara’ (taklify dan wad’y)
4. Kaidah dan cara penggunaannya
5. Penyelesaian terhadap dalil-dalil yang bertentangan.
Hubungan Antara Fiqh dengan Usul Fiqh
- Usul Fiqh adalah metode yang digunakan untuk memahami ketentuan dalam sumber hukum (Al-Qur’an dan Hadis) dan menyelesaikan masalah-masalah social kemasyarakatan. Hasil dari proses istimbath tersebut dinamakan Fiqh.
- Usul Fiqh adalah pisau analisis masalah sedangkan Fiqh adalah produknya.
Sejarah Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh
Fase Perkembangannya terbagi menjadi lima, yaitu:
1. Fase Pertumbuhan (610-632M)
• Dimulai sejak masa nabi yang terbagi dalam dua periode, yaitu periode Mekkah dan periode Medinah.
• Pada periode Mekkah belum nampak embrio usul fiqh, karena ayat-ayat yang turun berkisar masalah akidah, baru pada periode Medinah sudah mulai nampak, karena ayat yang turun mengatur tentang hukum dan pranata social.
• Ciri yang nampak a.l.: Rasul memberi peluang sahabat untuk berijtihad ketika menghadapi masalah, mengajarkan prinsip musyawarah (ijma’), muncul pengunaan ra’y.
• Sumber hukum pada masa ini hanya wahyu , Rasul juga melakukan ijtihad ketika muncul persoalan dan wahyu belum turun.
2. Fase Perkembangan (11H-akhir abad I H)
• Terjadi pada masa sahabat dan disebut juga dengan masa persiapan pembentukan fiqh
• Muncul kreativitas dalam berijtihad, dimana penggunaan ra’y lebih terarah. Sahabat mulai mengimplementasikan metode isitimbath hukum, seperti Umar menerapkan maslahah dalam kasus pencurian dan Ali menerapkan qiyas dalam masalah hukuman bagi pelaku minuman keras.
• Muncul fatwa-fatwa bagi peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya. Para sahabat menjadi pemegang otoritas fiqh di daerah masing-masing (Mekkah, Medinah, Kufah, Basrah, Syam, dan Mesir)
• Sumber Hukum Islam: al-Qur’an, Sunnah, ijtihad sahabat.
3. Fase Formulasi dan Sistematisasi (abad I sampai abad IIH)
• Terjadi pada masa dinasti-dinasti Islam (Umayyah dan Abbasiyah)
• Muncul pusat-pusat intelektual, yaitu Hijaz (Mekkah dan Medinah), Iraq (Kufah dan Basrah), dan Syria atau Syam.
• Muncul aliran Ahlul Hadis dan Ahl Ra’y
• Gerakan ijtihad sangat pesat, hal ini karena: wilayah Islam mulai meluas dimana ajaran islam bertemu dengan adat local masyarakat di luar Arab, Qur’an sudah dikodifikasikan dan banyak fatwa sahabat yang dijadikan sebagai sandaran.
• Muncul Imam-imam Mazhab dalam fiqh dan karya-karya besarnya, Imam Abu Hanifah menyusun kitab al-Fiqh al-Akbar (kitab Fiqh), Imam Malik menulis kitab al-Muwatta’ (kitab Hadis dengan sistematika Fiqh), Imam Syafi’i menulis ar-Risalah (usul fiqh) dan Kitab al-Umm (fiqh), Imam Ahmad Ibn Hanbal menyusun Musnad Ahmad (kitab Hadis).
• Sumber Hukum Islam pada masa ini adalah: al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas.
4. Fase Kemunduran atau Stagnasi (Abad ketiga sampai akhir abad 19 M)
• Tidak ada ulama yang mampu menjadi mujtahid mutlak
• Mereka taqlid pada ulama mazhab sebelumnya
• Terjadi pergolakan politik, dimana umat Islam terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, sehingga perhatian terhadap ilmu kurang.
• Muncul fanatisme mazhab, dimana usaha para ulama hanya memperkuat dasar-dasar dan pendapat mazhab sebelumnya. Karya yang muncul berupa syarah da mukhtasar.
5. Masa Kebangkitan (akhir abd ke 19 sampai sekarang)
• Berkaitan dengan kebangkitan di bidang politik, dimana umat Islam mulai berusaha melepaskan diri dari kolonialisme
• Muncul gerakan-gerakan pemabaruan dalam islm, seperti gerakan Wahabiyah di Saudi Arabia
• Muncul tokoh-tokoh pembaharu seperti Jamaluddin al-Afghani di Mesir, Muhammad bin Sanusi di Libia.
• Ulama mulai mempelajari karya ulama sebelumnya untuk dipilih mana yang paling valid dan membandingkannya dengan hukum positif.

 Sumber Hukum dalam Islam
Pengertian Sumber dan dalil
• Sumber atau masadir adalah wadah yang darinya digali norma-norma hukum.
• Dalil adalah petunjuk yang membawa kita menemukan hukum tertentu.
• Sumber hukum dapat diklasifikasikan dengan:
1. Dalil munsyi’: atau dalil pokok yang keberadaannya tidak memerlukan dalil lain. Termasuk dalam kategori ini adalah Al-Qur’an dan Hadis.
2. Dalil muzhir: yaitu dalil yang menyingkap, diakui keberadaannya karena ada isyarat dari dalil munsyi’ tentang penggunaannya. Termasuk dalam kelompok ini adalah metode-metode ijtihad seperti: ijma’, qiyas, istihsan, istislah, istishab dan sebagainya.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum
• Definisi: al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad dalam bahasa Arab yang berisi khitab Allah dan berfungsi sebagai pedoman bagi umat Islam.
• Fungsi: sebagai petunjuk bagi umat manusia, yang berupa:
(1) doktrin atau pengetahuan tentang struktur kenyataan dan posisi manusia di dalamnya, seperti: petunjuk moral dan hukum yang menjadi dasar syari’at, metafisika tentang Tuhan dan kosmologi alam, dan penjelasan tentang sejarah dan eksistensi manusia.
(2) ringkasan sejarah manusia baik para raja, orang-orang suci, nabi, kaum dsb.
(3) mukjizat, yaitu kekuatan yang berbeda dengan apa yang dipelajari.
• Kandungan: (1) I’tiqadiyah (2) Khuluqiyah (3) Ahkam ‘amaliyah.
• Penjelasan al-Qur’an:
1. Ijmali (global): yaitu penjelasan yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam pelaksanaannya. Contoh: masalah shalat, zakat dan kaifiyahnya.
2. Tafshili (rinci): yaitu keterangannya jelas dan sempurna, seperti masalah akidah, hukum waris dan sebagainya.
• Kategori Ayat Hukum dan Ayat Non-hukum: berdasarkan kandungan ayat, jika mengandung ketetapan hukum maka disebut dengan ayat hukum dan dapat menjadi dalil fiqh.
• Dalalah atau petunjuk al-Qur’an dibagi dua:
1. Qat’y (definitive text): lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami dengan makna lainnya. Lafal ini tidak membutuhkan ijtihad dan takwil.
2. Zanny (speculative text): lafal yang mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwil, dan dapat menerima ijtihad.

Hadis sebagai sumber Hukum:
• Definisi: Hadis adalah penuturan sahabat tentang Rasulullah baik mengenai perkataan, perbuatan, dan taqrirnya.
• Keshahihan Hadis: Hadis yang dapat digunakan sebagai sumber adalah hadis yang sahih dan hasan. Hadis dha’if tidak dapat dipakai sebagai sumber hukum. Sebagian ulama membolehkan menggunakan hadis dha’if sebagai dalil dengan syarat:
1. Kedha’ifanya tidak terlalu lemah
2. Memiliki beberapa jalur sanad
3. Tidak mengatur masalah yang pokok, hanya sampai hukum sunnah atau makruh.
• Penentuan kesahihan hadis dibuat oleh ulama sehingga terjadi perbedaan pendapat.
• Fungsi Hadis terhadap al-Qur’an: (1) Bayan tafsir (2) Bayan taqrir, dan (3) Bayan taudhih.
• Ulama cenderung menganggap al-Qur’an sebagai satu kesatuan dan hadis sebagai satu kesatuan. Ayat mana saja boleh ditafsir dengan hadis mana saja tanpa memperhatikan unsure waktu dan keterkaitan antara keduanya. Disamping itu terdapat ulama yang memandang kedudukan hadis lebih rendah dari al-Qur’an.
• Hadis Ahkam, yaitu hadis-hadis yang disusun dengan menggunakan sistematika fiqh. Contohnya:
- Subulus Salam karangan as-Shan’ani
- Naylul Authar karangan as-Syaukani
- Lu’lu’ wal marjan karangan Fuad Abdul Baqi
- Koleksi Hadis Hukum karangan Hasbi as-Shiddieqy.

 Ijtihad dan Mujtahid
Ijtihad
• Ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan untuk menemukan hukum syara’ melalui dalil-dalil yang rinci dengan metode tertentu.
• Fungsi ijtihad adalah: mengistimbathkan (mencari, menggali, dan menemukan) hukum syara’.
• Dasar Hukum Ijtihad: 1. Al-Qur’an (an-Nisa: 59) 2. Hadis 3. Logika
• Kedudukan ijtihad: sebagai sumber hukum yang ketiga
• Ruang lingkup ijtihad:
1. Peristiwa yang ketetapan hukumnya masih zanny (reformulasi)
2. Peristiwa yang belum ada nashnya sama sekali (formulasi)


Macam-Macam Ijtihad:
• Dari segi pelaku: a. Ijtihad fardi b. Ijtihad jamai
• Dari segi pelaksanaan:
1. Ijtihad Intiqai: yaitu ijtihad untuk memilih salah satu pendapat terkuat diantara beberapa pendapat yang ada. Bentuknya adalah studi komparatif dengan meneliti dalil-dalil yang dijadikan sebagai rujukan. Disebut juga ijtihad selektif.
2. Ijtihad Insyai: yaitu mengambil konklusi hukum baru terhadap suatu permasalahan yang belum ada ketetapan hukumnya. Disebut juga ijtihad kreatif.
Mujtahid
• Syarat Mujtahid:
1. Umum: Islam, balligh dan berakal
2. Pokok: mengetahui al-Qur’an, sunnah, maqasid syar’iyah dan qawaid al-fiqhiyah
3. Penting: menguasai bahasa Arab, ushul fiqh dan logika, mengetahui khilafiyah dan masalah-masalah yang sudah diijma’kan.
• Tingkatan Ijtihad:
1. Mujtahid Mutlak: yaitu mujtahid yang mampu mengistimbathkan hukum dengan menggunakan metode yang disusun sendiri. Contohnya adalah para Imam mazhab.
2. Mujtahid Muntasib: mengistimbatkan hukum dengan mengikuti metode imamnya tetapi tidak bertaklid. Contoh Abu Yusuf (muridnya Hanafi), Al-Muzani (Syafi’i), Ibnu Abdil Hakam (Maliki), dan Abu Hamid (Hanbali).
3. Mujtahid Mazhab: yaitu mujtahid yang mengikuti imamnya baik dalam usul maupun furu’.
4. Mujtahid Murajjih: yaitu mujtahid yang membandingkan beberapa pendapat imam dan memilih salah satu yang dipandang kuat.

 Hukum Syara’
Pengertian
Hukum syara’ adalah: khitab Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan (iqtidha’), pilihan (takhyir), atau penetapan (wadha’an).
Pembagian
• Hukum Syara’ terbagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
• Hukum Taklifi yaitu: tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk berbuat atau untuk tidak berbuat atau memilih diantara keduanya.
• Menurut jumhur ulama Hukum taklifi terbagi menjadi lima:
1. Ijab: tuntutan secara pasti untuk dilaksanakan, tidak boleh ditinggalkan, dan ada hukuman bagi yang melanggarnya. Akibat perbuatannya adalah wujub, perbuatan yang dituntut namanya wajib. Contoh: kewajiban shalat.
2. Nadb: tuntutan untuk melaksanakan perbuatan tapi tidak secara pasti. Perbuatan yang dituntut namanya mandub, akibat perbuatannya disebut nadb. Contoh anjuran mencatat transaksi.
3. Ibahah: khitab Allah yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat. Akibat dari tuntutannya disebut ibahah, perbuatannya namanya mubah. Contoh mencari rizki setelah shalat jum’at.
4. Karahah: tuntutan untuk meninggalkan tapi redaksinya tidak pasti. Akibat perbuatannya namanya karahah, perbuatannya disebut makruh. Contoh: menanyakan sesuatu yang menyulitkan.
5. Tahrim: tuntutan secara pasti untuk tidak melaksanakan perbuatan. Akibat dari tuntutan disebut hurmah, perbuatannya dinamakan haram. Contoh: larangan membunuh.
• Menurut Hanafiyah, hukum taklifi dibagi menjadi tujuh:
1. Iftiradh: tuntutan pasti untuk dilaksanakan berdasarkan dalil qat’y. Contoh: kewajiban shalat (fardu)
2. Ijab: tuntutan pasti untuk dilaksanakan berdasarkan dalil zanny. Contoh: membaca fatihah dalam shalat.
3. Nadb: sama dengan jumhur
4. Ibahah: sama dengan jumhur.
5. Karahah Tanzihiyah: tuntutan untuk meninggalkan tetapi tidak pasti (sama dengan karahah versi jumhur).
6. Karahah Tahrimiyah: tuntutan pasti untuk meninggalkan berdasarkan dalil zanny. Contoh: jual beli waktu shalat jum’at.
7. Tahrim: tuntutan pasti untuk meninggalkan berdasarkan dalil qat’y.
• Hukum Wadh’i: hukum tentang pengkondisian sesuatu.
• Hukum wadh’I dibagi menjadi 7 kategori:
1. Sabab: sifat nyata yang dijelaskan oleh nash bahwa keberadaannya menjadi hukum syara’. Keberadaan sabab menjadi pertanda ada atau tidaknya hukum. Contoh: tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya waktu zuhur.
2. Syarat: sesuatu yang berada di luar hukum syara’ tetapi keberadaan hukum syara’ tergantung padanya. Syarat tidak ada maka hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum. Contoh: wudhu adalah syarat sahnya salat.
3. Mani’: sifat nyata yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum. Contoh: haidl menjadi mani’ bagi shalat.
4. Shihah: suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’ (sabab, syarat, dan tidak ada mani’).
5. Bathil: terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan.
6. Azimah: hukum yang ditetapkan Allah kepada seluruh hambaNya sejak semula
7. Rukhsah: hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil karena adanya uzur.
• Perbedaan antara hukum taklify dan hukum wad’y:
1. Hukum taklify berisi tuntutan untuk melaksanakan/meninggalkan dan memilih. Hukum wad’y mengandung keterkaitan antara dua persoalan.
2. Hukum taklify merupakan tuntutan langsung kepada mukallaf , hukum wad’y merupakan wahana untuk dapat dilaksanakannya hukum taklify

2. HAM menurut Islam
Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." .[2] Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.
Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan non-muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini.
Jaminan Hak Pribadi
Jaminan pertama hak-hak pribadi dalam sejarah umat manusia adalah dijelaskan Al-Qur’an: QS. An-Nuur: 27-28
”27. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.
28. Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nuur: 27-28)
Dalam menjelaskan ayat ini, Ibnu Hanbal dalam Syarah Tsulatsiyah Musnad Imam Ahmad menjelaskan bahwa orang yang melihat melalui celah-celah pintu atau melalui lubang tembok atau sejenisnya selain membuka pintu, lalu tuan rumah melempar atau memukul hingga mencederai matanya, maka tidak ada hukuman apapun baginya, walaupun ia mampu membayar denda.

[2] HR. Buhari dan Muslim, Sahih Buhari, Jil. 5
Nash Qur’an dan Sunnah tentang HAM
Meskipun dalam Islam, hak-hak asasi manusia tidak secara khusus memiliki piagam, akan tetapi Al-Qur’an dan As-Sunnah memusatkan perhatian pada hak-hak yang diabaikan pada bangsa lain. Nash-nash ini sangat banyak, antara lain:
1. Ayat dalam al-Qur’an yang berbicara larangan memaksa, untuk menjamin kebebasan berfikir, berkeyakinan dan mengutarakan aspirasi, misalnya: QS. 18: 29
Artinya:
“ Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. 18: 29)
2. Al-Qur’an mengajukan ayat tentang hidup, pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana hidup. Misalnya: QS. 5: 32
Artinya:
" Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia Telah membunuh manusia seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya Telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi." (QS. 5: 32).

Rumusan HAM dalam Islam [3]
Apa yang disebut dengan hak asasi manusia dalam aturan buatan manusia adalah keharusan (dharurat) yang mana masyarakat tidak dapat hidup tanpa dengannya.

[3] Mahfudz Siddiq dalam HAM Menurut Islam

Para ulama muslim mendefinisikan masalah-masalah dalam kitab Fiqh yang disebut sebagai Ad-Dharurat Al-Khams, dimana ditetapkan bahwa tujuan akhir syari’ah Islam adalah menjaga akal, agama, jiwa, kehormatan dan harta benda manusia.
Nabi saw telah menegaskan hak-hak ini dalam suatu pertemuan besar internasional, yaitu pada haji wada’. Dari Abu Umamah bin Tsa’labah, nabi saw bersabda: "Barangsiapa merampas hak seorang muslim, maka dia telah berhak masuk neraka dan haram masuk surga." Seorang lelaki bertanya: "Walaupun itu sesuatu yang kecil, wahay rasulullah ?" Beliau menjawab: "Walaupun hanya sebatang kayu arak." [4]
Islam berbeda dengan sistem lain dalam hal bahwa hak-hak manusia sebagai hamba Allah tidak boleh diserahkan dan bergantung kepada penguasa dan undang-undangnya. Tetapi semua harus mengacu pada hukum Allah. Sampai kepada soal shadaqah tetap dipandang sebagaimana hal-hal besar lain. Misalnya Allah melarang bershadaqah (berbuat baik) dengan hal-hal yang buruk.
Allah SWT berfirman: QS.Al-Baqarah:267

Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya,dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS.Al-Baqarah:267)
Hak Asasi Manusia menurut islam dapat dibedakan menjadi :
1. Hak-hak Alamiah
Hak-hak alamiah manusia telah diberikan kepada seluruh ummat manusia sebagai makhluk yang diciptakan dari unsur yang sama dan dari sumber yang sama pula (lihat QS. An-Nisaa’: 1, QS. Ali-Imran: 195).
a. Hak Hidup
Allah menjamin kehidupan, diantaranya dengan melarang pembunuhan dan meng-qishas pembunuh (lihat QS. Al-Maidah: 32, QS. Baqarah: 179). Bahkan hak mayit pun dijaga oleh Allah. Misalnya hadist nabi: "Apabila seseorang mengkafani mayat saudaranya, hendaklah ia mengkafani dengan baik." [5] Atau "Janganlah kamu mencaci-maki orang yang sudah mati. Sebab mereka telah melewati apa yang mereka kerjakan." [6]

[4] HR. Muslim
[5] HR. Buhari, Sahih Buhari, Jil. 5
[6] HR. Buhari, Sahih Buhari, Jil. 5
b. Hak Kebebasan Beragama dan Kebebasan Pribadi
Kebebasan pribadi adalah hak paling asasi bagi manusia, dan kebebasan paling suci adalah kebebasan beragama dan menjalankan agamanya, selama tidak mengganggu hak-hak orang lain. Firman Allah: "Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya?" (QS. Yunus: 99).
c. Hak Bekerja
Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak tetapi juga kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin. Nabi saw bersabda: "Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang dari pada makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya sendiri." [7] Dan Islam juga menjamin hak pekerja, seperti terlihat dalam hadist: "Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." [8]
2. Hak Hidup
Islam melindungi segala hak yang diperoleh manusia yang disyari’atkan oleh Allah. Diantara hak-hak ini adalah:
a. Hak Pemilikan
Islam menjamin hak pemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan cara apapun untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya, sebagaimana firman Allah:"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada hakim agar kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahuinya."(QS. Al-Baqarah:188). Oleh karena itulah Islam melarang riba dan setiap upaya yang merugikan hajat manusia. Islam juga melarang penipuan dalam perniagaan. Sabda nabi saw:"Jual beli itu dengan pilihan selama antara penjual dan pembeli belum berpisah. Jika keduanya jujur dalam jual-beli, maka mereka diberkahi.Tetapi jika berdusta dan menipu, berkah jual-beli mereka dihapus." [9]
b. Hak Berkeluarga
Allah menjadikan perkawinan sebagai sarana mendapatkan ketentraman. Bahkan Allah memerintahkan para wali mengawinkan orang-orang yang bujangan di bawah perwaliannya, firman Allah yang artinya: ”Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.

[7] HR. Buhari, Sahih Buhari, Jil. 5
[8] HR. Ibnu Majah
[9] HR. Al-Khamsah
Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur: 24)
Allah menentukan hak dan kewajiban sesuai dengan fithrah yang telah diberikan pada diri manusia dan sesuai dengan beban yang dipikul individu.
Pada tingkat negara dan keluarga menjadi kepemimpinan pada kepala keluarga yaitu kaum laki-laki. Inilah yang dimaksudkan sebagai kelebihan laki-laki atas wanita (QS. An-Nisa’: 34). Tetapi dalam hak dan kewajiban masing-masing memiliki beban yang sama. "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya." (QS. Al-Baqarah: 228)
c. Hak Keamanan
Dalam Islam, keamanan tercermin dalam jaminan keamanan mata pencaharian dan jaminan keamanan jiwa serta harta benda. Firman Allah: "Allah yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS. Quraisy: 3-4).
Diantara jenis keamanan adalah dilarangnya memasuki rumah tanpa izin (QS. An-Nuur: 27). Jika warga negara tidak memiliki tempat tinggal, negara berkewajiban menyediakan baginya. Termasuk keamanan dalam Islam adalah memberi tunjangan kepada fakir miskin, anak yatim dan yang membutuhkannya. Oleh karena itulah, Umar bin Khattab menerapkan tunjangan sosial kepada setiap bayi yang lahir dalam Islam baik miskin ataupun kaya. Dia berkata: "Demi Allah yang tidak ada sembahan selain Dia, setiap orang mempunyai hak dalam harta negara ini, aku beri atau tidak aku beri." [10] Umar jugalah yang membawa seorang Yahudi tua miskin ke petugas Baitul-Maal untuk diberikan shadaqah dan dibebaskan dari jizyah.
Bagi para terpidana atau tertuduh mempunyai jaminan keamanan untuk tidak disiksa atau diperlakukan semena-mena. Peringatan rasulullah saw: "Sesungguhnya Allah menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia." [11] Islam memandang gugur terhadap keputusan yang diambil dari pengakuan kejahatan yang tidak dilakukan. Sabda nabi saw: "Sesungguhnya Allah menghapus dari ummatku kesalahan dan lupa serta perbuatan yang dilakukan paksaan" [12]
Diantara jaminan keamanan adalah hak mendapat suaka politik. Ketika ada warga tertindas yang mencari suaka ke negeri yang masuk wilayah Darul Islam, dan masyarakat muslim wajib memberi suaka dan jaminan keamanan kepada mereka bila mereka meminta. Firman Allah:"Dan jika seorang dari kaum musyrikin minta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ke tempat yang aman baginya." (QS.At-Taubah: 6).
[10] Abu Yusuf dalam Al Kharaj
[11] HR. Khamsah
[12] HR. Ibnu Majah

d. Hak Keadilan
Merupakan hak setiap orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang sah yang dapat memberikan perlindungan dan membelanya dari bahaya atau kesewenang-wenangan. Bagi penguasa muslim wajib menegakkan keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang cukup. Sabda nabi saw: "Pemimpin itu sebuah tameng, berperang dibaliknya dan berlindung dengannya." [13]
Termasuk hak setiap orang untuk mendapatkan pembelaan dan juga mempunyai kewajiban membela hak orang lain dengan kesadarannya. Rasulullah saw bersabda: "Maukah kamu aku beri tahu saksi yang palng baik? Dialah yang memberi kesaksian sebelum diminta kesaksiannya."[14] dibenarkan mengambil hak orang lain untuk membela dirinya atas nama apapun. Sebab rasulullah menegaskan: "Sesungguhnya pihak yang benar memiliki pembelaan." [15]
e. Hak Saling Membela dan Mendukung
Kesempurnaan iman diantaranya ditunjukkan dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya sebaik mungkin, dan saling tolong-menolong dalam membela hak dan mencegah kedzaliman Sabda nabi saw: "Hak muslim terhadap muslim ada lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar ke kubur, memenuhi undangan dan mendoakan bila bersin." [16]
f. Hak Keadilan dan Persamaan
Allah mengutus rasulullah untuk melakukan perubahan sosial dengan mendeklarasikan persamaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia (lihat QS. Al-Hadid: 25, Al-A’raf: 157 dan An-Nisa: 5). Manusia seluruhnya sama di mata hukum. Sabda nabi saw: "Seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya." [17]

[13] HR. Buhari dan Muslim, Sahih Buhari, Jil 5
[14] HR. Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Tirmidzi
[15] HR. Al-Khamsah
[16] HR. Buhari
[17] HR. Buhari dan Muslim, Sahih Buhari, Jil 5

II.Demokrasi Dalam Islam [18]
1. Prinsip Bermusyawarah
Petunjuk al-Quran tentang bentuk dan sistem musyawarah dalam surat As-Syura: 38, yaitu Artinya:
" Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya, dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah, dan mereka membelanjakan sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka."(QS As-Syura: 38). Allah juga menyebut musyawarah sebagai sifat terpuji bagi orang beriman, kemudian Ia memerintahkan agar urusan dimusyawarahkan sebagi tersebut dalam surat Ali Imran: 159:
Artinya :
"Maka dengan sebab rahmat dari Allah engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan memohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal."
Dalam islam, bermuasyawarah mengenal prinsip syuro adalah melakukan sharing dan brainstorming untuk mencari jalan yang terbaik atas masalah yang dihadapi. Syuro ini menjadi kewajiban pemimpin Islam baik di level rendah atau di wilayah `uzhma. Namun tentu saja wilayah pembicaraan syuro bukan pada masalah qath`i yang sudah ditetapkan Islam.
Syuro hanya membahas hal-hal teknis yang memang Islam memberikan kita kebebasan untuk mencari pendekatan yang terbaik. Rasul saw memang telah memberikan wewenang masalah ini,"Antum a`lamu bi umuri dunyakum". Kalian lebih mengerti dengan urusan dunia kalian. Allah sendiri sudah menetapkan batas wilayah syuro itu : "Wa syawirhum fil amri", dan lakukanlah musyawarah dalam urusan itu". Artinya dalam urusan teknis yang tidak melanggar syariah.
Sebuah majelis syuro itu harus terdiri dari orang-orang yang muslim, bertakwa, shalih, mengerti syariat Islam, mengerti halal dan haram serta segudang syarat lainnya.


[18] Fatawa Mu’aashirah (II/652-653)




Tata tertib atau disiplin dan adab-adab syura menurut Islam:
1. Tujuan dan niat anggota syura ialah mencari dan menegakkan kebenaran karena ALLAH. Masing-masing mesti mengawal diri dari maksud riya', bermegahan, ujub atau untuk hobi semata-mata. Sebaiknya masing-masing mempunyai rasa takut pada ALLAH, kalau-kalau terjadi perbincangan yang tidak tepat dan tidak selaras dengan kehendak ALLAH dan Rasul. Untuk mengelak dari riya', ujub dan bermegahan, caranya ialah masing masing mengharapkan kebenaran itu datangnya dari orang lain, bukan dari dirinya. Dan dia akan merendahkan diri untuk menerima dan mendukung kebenaran yang sudah ditemui itu.
2. Sekiranya kebenaran itu keluar dari mulut kita sendiri, segeralah banyak bersyukur pada ALLAH, karena memperlihatkan kebenaran itu kepada kita. Bukankah kita dhaif untuk menemukannya kalau bukan dengan petunjuk dari ALLAH? Dengan ilmu dan keyakinan yang demikian, Islam menyelamatkan majelis syura dari timbulnya rasa sombong, bermegahan, menunjuk kepandaian, merasa diri lebih tinggi, mujadalah (debat tidak menentu), keras kepala, hina-menghina, jatuh-menjatuhkan dan akhlak lain yang keji.
3. Di waktu seorang anggota syura berbicara, anggota- anggota yang lain mesti menghormati pandangannya dan sama-sama mendengarnya. Biarkan dia menghabiskan bicaranya walaupun kita tidak setuju pendapatnya. Memotong bicara kawan atau minta dia berhenti sebelum habis berbicara adalah tidak beradab dalam syura. Sikap itu sangat dibenci.
4. Bila seorang anggota syura selesai memberi pandangannya, ucapkan terima kasih. Kalau didapatkan ucapannya benar, beri tahniah dengan sepotong doa: Moga-moga ALLAH membalas kamu dengan kebaikan.
5. Sekiranya pendapat yang diberi salah, jangan sekali-kali menghinanya. Betulkan dengan mesra dan kasih sayang menggunakan hujah-hujah yang bernash.
6. Sekiranya kita sendiri yang melakukan kesalahan atau mengeluarkan pendapat yang salah, minta ampunlah kepada Tuhan dan merendah dirilah untuk menerima hakikat kesalahan itu.
7. Misalnya terjadi perbedaan pendapat yang serius hingga sukar untuk menyatukan pandangan, maka demi perpaduan, pandangan ketua atau pemimpinlah yang mesti diterima.
8. Dalam syura Islam jangan sekalipun terjadi mujadalah, berburuk sangka, sakit hati, caci maki, berkelahi, lempar kursi, pukul meja, tunjuk pistol, geram, dendam dan sebagainya. Anggota-anggota syura akan sanggup untuk mengalah, bersabar untuk mencari nas (dalil) atau bersikap tawakuf (menerima tidak, menolak pun tidak). Bahkan demi menjaga ukhuwah karena ALLAH, di akhir majelis, masing-masing akan saling bermaaf-maafan dan berbaik sangka serta bersabar untuk menanti bantuan ALLAH dalam masalah apapun yang timbul. Di penutupnya, sama-sama membaca surah Wal ‘Ashr dan doa kifarah, yakni meminta ampun kepada ALLAH. InsyaALLAH dengan cara itu, umat Islam akan senantiasa membuat keputusan yang tepat, bersih dan diberkati ALLAH.
2. Prinsip dalam Al-Ijma’
Ijma’[19]
• Pengertian Ijma’:
Ijma' menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang ( ) yang berati "kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu." [20]
Menurut istilah ijma', ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara' dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma'. Jadi Ijma’ dapat diartikan :
1. Imam Ghazali: Kesepakatan umat Muhamad terhadap suatu masalah
2. Jumhur: Kesepakatan mujtahid pada suatu masa terhadap suatu hukum syara’ setelah wafatnya Rasulullah.
• Secara Historis :
1. Ijma’ merupakan suatu proses alamiah bagi penyelesaian persoalan melalui pembentukan pendapat mayoritas ummat secara bertahap.
2. Ijma’ bermula dari pendapat pribadi dan berpuncak pada peneriamaan universal oleh ummat dalam jangka panjang.
3. Ijma’ adalah aktifitas informal murni dari para ulama dalam kedudukan pribadi mereka tanpa ada organisasi yang pasti dan prosedur yang spesifik.
• Dasar Hukum Ijma’:
Dasar hukum ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran.
(1). Al-Qur'an
Allah SWT berfirman yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59)
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
[19] Tim Penulis Dosen PAI UGM, 2004, Buku Teks Pendidikan Agama Islam, Bagian Filsafat Agama Fakultas Filsafat UGM,
[20] Kamus Bahasa Arab Al Mufid
Firman AIlah SWT yang artinya: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103)
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah SWT yang artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (An-Nisâ': 115)
Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."
(2). AI-Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
(3). Akal pikiran
Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
• Fungsi Ijma’:
1. Mengeliminir kesalahan-kesalahan dalam berijtihad
2. Menyatukan pendapat-pendapat yang berbeda
3. Menjamin penafsiran yang tepat atas Qur’an dan keotentikan hadis
• Rukun Ijma’:
1. Mujtahid: seluruh mujtahid hadir dan seluruh yang hadir menyetujui
2. Kesepakatan: dilakukan secara tegas dan bulat
• Macam Ijma’: sharih (kesepakatannya tegas) dan sukuti (kesepakatannya tidak tegas).
• Pendapat Ulama tentang Ijma’:
1. Syafi’I, Hambali, Zahiri: Ijma’ hanya terjadi pada masa sahabat
2. Malik: praktek orang Madinah dianggap Ijma’
3. Syiah: Ijma’ adalah kesepakatan para anggota keluarga Rasul
4. Abduh: Ijma’ adalah mufakat orang yang berwenang (ulul amri), dan dapat dibatalkan oleh generasi berikutnya. Tidak ada ketentuan teknis tentang ijma’ dalam al-Qur’an.
5. Iqbal: Bentuk ijma’ yang mungkin adalah pengalihan kekuasaan ijtihad kepada lembaga legislative.

Qiyas (Analogical Reasoning) [21]
• Definisi: Qiyas adalah menganalogikan suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya (nash/dalil) dengan masalah yang sudah ada ketetapan hukumnya karena adanya persamaan illat.
• Historis:
1. Ijma’ merupakan sistematisasi ra’y (pendapat pribadi)
2. Bentuknya tidak kaku dan formal, tanpa batasan yang spesifik
• Sikap ulama: menerima (jumhur), dan menolak (Zahiri).
• Rukun dan Syarat Qiyas:
1. Ashl (Maqis alaih): masalah yang sudah ada hukumnya, baik dari al-Qur’an maupun hadis.
2. Furu’ (maqis): masalah yang sedang dicari hukumnya.
3. Hukum Ashl: hukum yang sudah ditetapkan oleh nash
4. Illat: sifat yang terdapat dalam ashl, dengan syarat: sifatnya nyata dan dapat dicapai dengan indera, konkrit tidak berubah, dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.

[21] ”PENDIDIKAN AGAMA ISLAM” (Buku Teks Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam Pada Universitas Gunadarma), Penerbit : Universitas Gunadarma, 2003
• Pembagian Qiyas:
1. Qiyas Aulawi: jika hukum pada furu’ lebih kuat daripada ahl (seperti mengqiyaskan memukul dengan kata “ah”).
2. Qiyas Musawi: Jika hukum pada furu’ sama kuatnya dengan hukum pada ashl (seperti memakan harta anak yatim dengan membakarnya).
3. Qiyas Adna: yaitu hukum pada furu’ lebih lemah daripada ashl (seperti mengqiyaskan apel dengan gandum).
• Kejelasan Illat:
1. Qiyas Jaly: Qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum ashl (seperti memukul orang tua)
2. Qiyas Khafy: Qiyas yang illatya tidak disebut dalam nash.

C. KESIMPULAN
Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan Allah melalui wahyu-Nya, dalam Al-Quran dijelaskan nabi Muhammad saw sebagai rasulnya melalui sunah beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam kitab-kitab hadist.
HAM terbagi menjadi 2 HAM Menurut barat dan menurut islam. HAM barat bersifat anthroposentris: segala sesuatu berpusat pada manusia sehingga menempatkan manusia sebagai tolak ukur segala sesuatu. HAM islam bersifat theosentris: segala sesuatu berpusat pada Allah.
Dalam konsep demokrasi modern, kedaulatan rakyat merupakan inti dari demokrasi sedang demokrasi islam meyakini bahwa kedaulatan Allah lah yang menjadi inti dari demokrasi.


======================== Jazzakumullah Khairan Katsiiron ===========================

“Tinggalkanlah sesuatu yang aku tidak anjurkan kepadamu. Kebinasaan umat terdahulu ialah karena mereka banyak bertanya dan selalu menyelisihi Nabi mereka. Jadi, apabila aku melarangmu dari sesuatu, tinggalkanlah, dan apabila aku perintahkan sesuatu kepadamu, lakukanlah semampumu”
(HR Bukhari No. 7288 dan Muslim No. 1337).


DAFTAR ISTILAH/GLOSARI
Amaliyah
adalah segala apa yang berhubungan dengan tata cara amal. Seperti shalat, zakat, puasa dan seluruh hukum-hukum amaliyah. Bagian ini disebut far’iyah (cabang agama), karena ia di¬bangun di atas i’tiqadiyah. Benar dan rusaknya amaliyah tergantung dari benar dan rusaknya i’tiqadiyah.

Bayan Taudhih
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qur'an

Bayan Tafsir
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak.

Bayan Taqrir
yaitu as-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur'an

I’tiqadiyah
adalah hal-hal yang tidak berhubungan dengan tata cara amal. Seperti i’tiqad (kepercayaan) terhadap rububiyah Allah dan kewajiban beribadah kepadaNya, juga beri’tiqad terhadap rukun-ru¬kun iman yang lain. Hal ini disebut ashliyah (pokok agama)

Jizyah
pajak

Khuluqiyah
Segi Akhlak

Kosmologi
adalah ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam semesta berskala besar. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu subjek. Kosmologi dipelajari dalam astronomi, filosofi, dan agama.

Metafisika
(Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik", φύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam") adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas.


DAFTAR PUSTAKA

1. ”PENDIDIKAN AGAMA ISLAM” (Buku Teks Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam Pada Universitas Gunadarma), Penerbit : Universitas Gunadarma, 2003
2. Tim Penulis Dosen PAI UGM, 2004, Buku Teks Pendidikan Agama Islam, Bagian Filsafat Agama Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta
3. Depag, RI, 2002.Materi Sosialisasi Tema-tema Pokok PAU pada PTU,: Depag RI, Jakarta
4. Al-Faruqi, I. R.,, 1988, Tawhid Its Implication for Thought and Life, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti “Tauhid” Pustaka, Bandung.
5. Al Maududi, A. A., 1983, Pokok-Pokok Pandangan Hidup Muslim (terjemahan Osman Raliby), Bulan Bintang, Jakarta.
6. http://id.wikipedia.org/wiki/Syariat_Islam

5 komentar:

  1. WAH DAHSYAT...
    TERIMA KASIH YA ATAS INFONYA...
    SEMOGA MAKIN SUKSES YA...

    BalasHapus
  2. Assalamu'alaikum.


    Boleh tanya gak mas?? Ane masi bingung ni,soal membedakan antara demokrasi islam dengan demokrasi yang ada diindonesia. Karena demokrasi diindonesia masi tertanam nilai2 luhur sebagaimana tujuan syari'ah yang lima. (akal,agama,kehormatan,jiwa,dan harta) seperti yang tertuang pada pancasila. Dan dari para anggota legislatif pun tumbuh beberapa gagasan Undang2 agama islam.

    Nah dari sini demokrasi indonesia dikelompokan ke yang mana?? Ataukah berdiri sendiri menunggu diantara dua demokrasi islam dan liberal menggandengnya??


    Trimakasih.

    BalasHapus
  3. thanks ni..
    u'r the besttt...

    BalasHapus
  4. Makasih banyak.,

    BalasHapus